Bioskop. Tempat yang ideal untuk pedekate sekaligus untuk nyari
inspirasi dari film yang ditonton. Seperti hal-hal lain yang ada dalam
hidup, bioskop juga mengalami perkembangan. Nggak tahu-tahu bagus dan
lantainya dilapisin karpet dan ruangan ber-AC kayak sekarang.
Dulu sebelum Indonesia dikuasai cabang-cabang bioskop, kita menikmati
film di lapangan-lapangan. Filmnya diproyeksikan ke layar putih yang
ditancapkan ke tanah dengan bantuan dua tiang. Makanya disebut layar
tancap (alias layar tancep ya, ceu). Populer juga dengan sebutan misbar.
Bukan saudaranya Dedi Miswar, melainkan singkatan dari ‘gerimis bubar’.
Adik-adik yang sekarang ini memasuki masa abege mungkin nggak banyak
tahu nih soal bioskop ini. Nah, sekarang mari kita bernostalgia...
Layar tancap muncul pertama kali sekitar tahun 1901. Dindingnya dari
bilik aja dan nggak ada atapnya. Biasanya bisa ditemui di
lapangan-lapangan yang ada di Jakarta. Waktu itu masyarakat kita baru
kenal dengan yang namanya film. Seseorang berdarah Belanda juga punya
andil dalam hal ini. Soalnya dia yang pertama kali menayangkan film di
halaman rumahnya pada tahun 1990. Setelah itu selama 3 tahun berikutnya,
tempat itu diresmikan lokasinya dan namanya diganti jadi The Roijal
Bioscope. Tapi ya gitu, masih berbentuk layar tancap aja.
Layar tancap atau bioskop keliling biasanya bisa kamu temui waktu ada
yang hajatan, bisa acara resepsi pernikahan, sunatan, atau syukuran
kelahiran bayi. Selain untuk muter film, dulu layar tancap juga dipakai
untuk promosi atau sosialisasi dari instansi pemerintah. Maklum, soalnya
media audio dan visual waktu itu kan masih jarang banget. Eh iya, film
yang bersuara juga kan baru marak tahun 1930-an.
Tahun 1940-an, orang mulai males nonton film karena
propaganda-propaganda Jepang. Saat itu banyak gedung bioskop yang udah
berdiri malah seringnya kosong dan cuma dipakai sebagai gedung
penyimpanan bahan-bahan pembuatan film. Untungnya beberapa tahun
kemudian, film-film Amerika masuk, dan ternyata lumayan diminati
masyarakat.
Di tahun 1951 ada bioskop Metropole mulai beroperasi, yang sempat
dikenal dengan nama bioskop Megaria dan kapasitas penontonnya 1,700.
Ngeselinnya di tahun ’60-an film dan bioskop mulai dimanfaatkan untuk
hal-hal berbau politik. Ya nggak jauh beda sama propaganda Jepang dong
ya. Saat itu film Amerika yang mulai diminati dibatasi dan diboikot.
Akhirnya di tahun ’70-an, para pecinta dan pihak-pihak yang peduli sama
film dan bioskop menyatukan kekuatan! Mereka pengin menghidupkan lagi
bioskop. Pemerintah juga udah mulai ngasih kesempatan ke pemilik bioskop
untuk mengimpor film-film dari luar negeri.
Di tahun ’70 sampai ’90-an ini pula layar tancap mengalami masa
keemasannya, padahal gedung bioskop udah makin banyak. Apalagi di tahun
1987, muncul konsep gedung bioskop modern yang punya lebih dari satu
layar (sinepleks). Di jaman sekarang, walaupun jarang, sebenernya kamu
masih bisa menemui layar tancap alias bioskop keliling di daerah
pinggiran. Akhir pekan saya juga nggak sengaja nemu layar tancap yang
lagi nayangin film Benyamin S, waktu lewat ke sebuah perkampungan. Kalau
nggak ada keperluan lain, saya pengin banget mampir dan ikutan nonton
terus sok akrab aja gitu sama yang lagi nonton juga.
Namanya juga Indonesia, biasanya kalau ada layar tancap, pasti bakalan
ada juga tukang makanan dan minuman yang tiba-tiba muncul. Haha. Enaknya
lagi kalau layar tancapnya disedain sama orang yang lagi punya hajat.
Kan nggak usah beli tiket tuh, jadi uangnya bisa buat jajan. Nontonnya
bisa pilih tempat yang paling pewe.
Menurut seorang pengusaha layar tancap,
sampai sekarang bisnis ini masih dapat banyak tawaran dari berbagai
daerah, nggak dari Jabodetabek aja. Tapi tawaran harga dan jarak jadi
pertimbangan. Serem juga kan kalau tempatnya jauh dan alat-alatnya harus
dipaketin. Selain film, kadang alat-alatnya juga disewa untuk nonton
bareng pertandingan sepakbola.
Sistem yang dipakai masih sama yang jaman dulu. Bedanya di pita
filmnya. Kalau dulu pakai pita kecil, sekarang pakai pita besar kayak
yang dipakai di bioskop. Film-filmnya sendiri disewa dari rental film.
Tapi ada juga pengusaha layar tancap yang menyajikan film dari DVD,
padahal sebenernya nggak boleh. FYI, alat-alatnya kebanyakan diimpor
dari Jepang dan harganya bisa mencapai Rp 50 jutaan. Waow.
Sekarang kalau mau nyobain sensasi nonton di layar tancap, ada
komunitas Kineforum yang suka bikin pertunjukan layar tancap gitu. Seru
banget…
Kamu ngalamin zaman layar tancap, kah? Ceritain pengalamanmu saat itu dong!
yayayayaya
BalasHapusajib hahahaha